Jumat, 23 Maret 2012



















Menikah muda dalam pandangan Islam
nikah muda
Kenapa Harus Segera Menikah? sebagaimana diketahui, Nikah adalah salah satu ibadah yang kerap ditunda-tunda.  Banyak alasan diajukan. Di antara dalih yang kerap jadi alasan adalah takut tidak mampu memberi nafkah keluarga alias takut miskin. Padahal Rasulullah SAW telah bersabda “Barangsiapa yang takut menikah karena takut miskin, maka bukan umatku.”(HR. Dailami dan Abu Dawud).
Rasulullah Saw berpesan:”Wahai para pemuda, jika salah seorang dari kalian mempu menikah maka lakukanlah, sebab menikah itu baik bagi mata kalian dan melindungi yang paling pribadi (farj)” (HR Bukhari dan Muslim) Dengan kata lain, segerakanlah untuk menikah.
Dan Diantara Keutamaan Menikah Muda adalah :
  1. Terpelihara dari diri dan agamanya,
  2. Mendapatkan limpahan rahmat yang lebih dari Allah,
  3. Mendapatkan ketenangan hati dan ketentraman jiwa
  4. Bisa berbagi kasih sayang dan cinta kepada yang berhak,
  5. Terbebas dari fitnah,
  6. Dicintai Rosulullah SAW, karena telah melaksanakan sunnah beliau dan Rosulullah SAW sendiri pernah bersabda bahwa Rasulullah sangat senang melihat umatnya yang banyak.
Hidup terlalu lama melajang secara psikologis, tak sehat. Sebab secara fitri manusia membutuhkan pasangan hidup tempat saling mencurahkan kasih sayang. Yang terpenting, nikah merupakan salah satu solusi ampuh guna menekan angka penyakit-penyakit sosial, seperti pergaulan bebas.


Apa itu menikah muda? tentu saja menikah diusia muda, masa gitu aja tanya sih?!!  Selama ini yang sering terdengar adalah kegagalan pernikahan karena usia muda, tapi perlu dibedakan antara pernikahan dini denganpernikahan muda, kalau pernikahan dini tentu saja tidak baik, tapi menikah muda asalkan siap lahir batin, why not?!bahkan lebih baik dibanding diusia 30-an.
Dan ternyata, menikah muda banyak keuntungannya. Dalam agama Islam juga dianjurkan untuk menikah muda. Berbeda dengan pandangan para “ahli” sekarang yang menganjurkan untuk menikah tidak di usia muda dikarenakan ketakutan akan terjadinya booming kelahiran yang mengakibatkan bertambah beratnya beban keluarga dalam memenuhi pangan, sandang dan papan.
Lalu apa saja keuntungan menikah muda? dan apa hubungannya dengan memiliki anak diusia 20-an? Wanita biasanya melepas masa lajang di umur 20-an. Tak jarang banyak dari mereka yang langsung memiliki momongan. Menurut Helium, banyak keuntungan yang bisa Anda dapatkan jika memutuskan untuk memiliki momongan di usia 20-an. Berikut beberapa keuntungannya:
Memiliki energi
Usia 20-an adalah waktu bagi Anda untuk memiliki produktivitas serta aktivitas yang tinggi. Energi yang ada dalam diri Anda masih sangat banyak, sehingga mengurus Anak secara maksimal bisa dilakukan.
Masuk dalam kelompok ‘ibu muda’
Anda tak akan sendirian saat merawat anak. Akan banyak teman-teman Anda yang juga menjadi ‘ibu muda’. Ini akan menciptakan lingkungan sosial baru bagi Anda. Anda pun bisa bertukar pikiran mengenai cara merawat anak dengan lingkungan baru itu. Menyenangkan bukan?
Memperkecil risiko anak lahir dalam keadaan kurang sempurna
Semakin tua usia Anda, maka akan semakin besar risiko bayi terlahir dalam keadaan tidak sempurna. Cacat fisik atau kelainan mental adalah beberapa risiko yang dihadapi saat mengandung di usia 30-an ke atas.
Masa depan lebih tenang
Jika Anda melahirkan di usia 20-an, maka di umur 40 nanti, anak Anda sudah menjadi orang dewasa dan mandiri. Anda pun bisa menyambut hari tua dengan lebih tenang, tanpa beban pikiran.

KITA BISA MENGAMBIL PELAJARAN DARI SOAL TANYA JAWAB DI BAWAH INI COPAS DARI SEORANG USTD,,.
Assalamu’alaikum.., langsung saja ustadz, saya mau tanya:
1.Apakah menikah muda disyariatkan dalam islam?
2.Kalau jadi menikah, siapa yang harus di penuhi, kebutuhan orangtua atau istri? karena saya menjadi tulang punggung keluarga?
3.Bolehkah menikah sambil belajar ( sekolah ), karena kemauan calon istri yang mau sekolah? dan bagaimana agar terjaga dari fitnah?
Bismillahirrahmanirrahim, Wa ‘alaikumussalam warahmatullahi wa barakaatuh.
Alhamdulillah, Pertama-tama, saya ingin mendudukkan terlebih dahulu, sedikit kesalahpahaman sebagian kalangan kaum muslim, tentang makna dari kata syar’i atau disyariatkan.
Kata syar’i, atau yang lazim diterjemahkan dengan disyariatkan, punya dua kemungkinan makna:
1. Ditetapkan sebagai syariat.
2. Dibenarkan menurut syariat.
Mengacu pada pertanyaan di atas, mana yang dimaksud antara dua makna tersebut? Apakah maknanya ditetapkan sebagai syariat? Atau dibenarkan menurut syariat? Keduanya memiliki indikasi makna yang berbeda, oleh sebab itu akan berbeda pula jawaban dari pertanyaan tersebut.
Bila maksudnya ditetapkan sebagai syariat, maka artinya ada hukum tertentu yang berlaku pada “menikah di usia muda ini”, entah itu mubah –yang maknanya bisa dibenarkan dalam syariat–, sunnah, atau wajib.
Bila artinya dibenarkan dalam syariat, maka artinya secara hukum Islam memperbolehkannya, tapi tidaklah dianjurkan, apalagi diwajibkan. Dan, memang demikianlah adanya. Menikah di usia muda, secara hukum asal diperbolehkan. Namun juga tidak dianjurkan, apalagi diwajibkan. Tapi, bila dikaitkan dengan situasi dan kondisi pada orang yang akan menikah, hukumnya bisa bervariasi.
Hukum asal itu berasal dari sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang sangat populer,
“Wahai kawula muda. Barangsiapa diantara kalian yang sudah memiliki “baa-ah” (kemampuan seksual), hendaknya ia menikah. Sesungguhnya yang demikian itu lebih dapat memelihara pandangan mata dan kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya.” [1]
Yakni, menikah itu diperintahkan, saat seseorang sudah memiliki kemampuan seksual sesungguhnya. Artinya, mulai saat itu –saat seseorang sudah baligh–, ia sudah menerima perintah menikah.
Mulai dari remaja hingga dewasa, seorang muslim sudah menerima syariat untuk menikah. Hukum itu kian menguat, bila kemampuan, potensi, dan hasrat seksual semakin meningkat. Sehingga suatu saat bisa dianjurkan atau disunnahkan, dan bisa juga diwajibkan.
Saat ia sudah dianjurkan atau bahkan diwajibkan, maka ukuran apakah seseorang masih tergolong muda atau bahkan terlalu muda, atau sudah cukup umur untuk menikah –dalam kaca mata syariat Islam– tidaklah menjadi ukuran. Hukum tetap berlaku dengan alasan hukumnya. Muda dan tua bukanlah alasan hukum dalam menikah.
Namun, bila dalam “kemudaan”, seseorang punya kendala untuk menikah, seperti soal aturan kenegaraan –bila di negaranya menikah muda dilarang–, belum mengerti hukum-hukum dan adab pasutri, belum mampu mencari nafkah, atau hal-hal lain, maka itu termasuk kondisi di mana seseorang “belum bisa” segera menikah. Di saat itulah ia disyariatkan berpuasa, untuk menahan hasrat seksualnya.
Hal itu juga berlaku, bila ia sudah dewasa namun memiliki beberapa kendala yang menyebabkan ia sulit untuk menikah, atau sulit mendapatkan orang lain yang sudi menikahkan dia dengan putrinya –kalau ia seorang pria–, atau sulit mendapatkan orang yang mau menikahkan dirinya dengan putranya.
Jadi dalam usia apapun, bila seseorang masih terkendala menikah, atau ada mudharat besar bila ia segera menikah, maka hukum penundaan menikah demi maslahat itu tetap berlaku bagi dirinya.
“Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa. Sesungguhnya puasa itu adalah obat baginya…”
Kewajiban menolong orang tua, terlebih bagi anak lelaki, berlaku seumur hidupnya. Seorang anak wajib menolong dan membantu orang tuanya, untuk urusan dunia dan akhirat, sebagaimana orang tua berkewajiban mengurus, merawat, dan membesarkan anak-anaknya dahulu.
Sementara, kewajiban terhadap istri adalah kewajiban baru bagi seseorang, yang juga harus dipenuhi. Lalu, mana yang harus didahulukan?
Keduanya tidak boleh diadu/dibenturkan. Kalau seseorang belum mampu menghidupi istri karena harus menolong orang tuanya, dan ia masih mampu menahan hasrat menikahnya, maka ia harus menunda menikah. Karena bila dipaksakan, ia harus mengorbankan salah satu dari kewajiban tersebut.
Tapi, bila ia mau menikah dan merasa mampu untuk menanggung kedua kewajiban tersebut, ia boleh menikah segera. Apalagi, bila hasrat menikah begitu besar, dan bila tidak menikah dikhawatirkan ia terjerumus pada perbuatan haram, maka ia wajib segera menikah.
Bila orang tua bisa sekadar dibantu nafkahnya, maka seorang suami bisa lebih banyak menafkahi istri, dengan tetap membantu orang tuanya. Bila orang tuanya tidak berpenghasilan, maka anak-anaknya, termasuk dia, harus bersama-sama bekerja sama menanggung kewajiban memenuhi kebutuhan orang tua mereka. Bila seseorang hanya bisa melakukannya dengan mengajak orang tuanya hidup satu atap dengan dirinya dan juga istrinya, maka itu harus dilakukan.
Hanya saja, orang tua yang baik tentunya akan mengalah, tidak membebani anak dan juga menantunya. Tapi secara hukum, anak –terutama anak laki-laki yang memang bertugas mencari naskah– wajib memperhatikan kebutuhan orang tuanya, meskipun ia sudah menikah.
Adapun anak perempuan, bisa membantu sebatas yang dia mampu. Ia juga bisa mengajak suaminya, untuk membantu orang tuanya, bila orang tuanya memang membutuhkan bantuannya. Terutama sekali, bila orang tuanya hanya memiliki anak tunggal. Dan kebetulan, sang orang tua juga miskin dan tidak berkemampuan.
Menikah dengan tetap belajar, boleh-boleh saja, asalkan belajar di sekolah itu tidak mengganggu jalannya rumah tangga secara baik, aman, terkendali, tenteram, dan menyenangkan. Tujuan-tujuan berumah tangga, termasuk memiliki anak, juga jangan , hanya karena urusan belajar di sekolah.
Karena persoalannya, kewajiban membina rumah tangga yang diwadahidengan sakinah(ketentraman), untuk membuahkan mawaddah dan rahmah (cinta dan kasih sayang) adalah kewajiban yang pasti di depan mata. Sementara sekolah, hanya salah satu dari bentuk kewajiban umum yang biasanya berhukum fardhu kifayah, tidak boleh rumah tangga dikorbankan karena sekolah.
Kalau yang dijadikan tujuan sekolah adalah mencari ilmu semata, maka menuntut ilmu toh bisa dilakukan tanpa ruang sekolah. Bisa dengan membaca buku, makalah, dan artikel di internet, dengan dialog dan diskusi bersama teman, menghadiri seminar, pengajian, dan sejenisnya. Sehingga, sekolah tidak boleh “dipaksakan”.
Agar terhindar dari fitnah? Di sini, kata fitnah sengaja saya miringkan, karena yang dimaksud di sini adalah fitnah bahasa Arab, yang salah satu maknanya adalah godaan atau musibah. Bagaimana cara menghindari bencana, dan agar seorang wanita tidak menjadi godaan bagi kaum pria saat bersekolah, sementara ia sudah berumah tangga?
Kuncinya adalah pada upaya memilih sekolah yang paling aman –dalam pandangan syariat–, bila memang diputuskan si istri tetap bersekolah. Kalau di pesantren, pilihlah pesantren yang para pengajarnya adalah wanita saja. Yang pergaulannya baik. Yang dasar akidah dan metode memahami Islamnya bersih dari syubhat, kebid’ahan, dan kesesatan. Bila pendidikan umum, carilah yang interaksi dengan lawan jenis dapat dibatasi, sehingga tidak terjadi keharaman dalam proses belajar mengajar tersebut.
Sulit? Tentu saja. Bahkan, secara jujur saya nyatakan, sulit mencari balai pendidikan umum sekarang ini –terutama di negri kita– yang aman bagi kaum wanita untuk belajar di dalamnya, tanpa menjadi godaan bagi kaum pria, tanpa menjerumuskan dirinya pada hal-hal yang dilarang dalam Islam, dan dalam pergaulan pria dengan kaum wanita.
Meski demikian, balai-balai pendidikan yang relatif aman, kini juga mulai banyak bermunculan, seiring dengan kesadaran umat Islam terhadap ajaran Islam sesungguhnya. Namun, saya pribadi menganjurkan: bila sudah memutuskan berumah tangga, sebaiknya fokuskan perhatian pada pembinaan rumah tangga. Bila masih ingin sekolah, tunda saja pernikahannya.
Wallahu A’lamu Bishshawaab…..
(̅_̅_̅_̅(̅_̅_̅_̅_̅_̅_̅_̅_̅̅_̅()ڪے~ ~ (̅_̅_̅_̅(̅_̅_̅_̅_̅_̅_̅_̅_̅̅_̅()ڪے~ ~ 
Catatan Kaki:
[1] Diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya, dalam kitab an Nikah, bab: Orang yang belum mampu menikah, hendaknya berpuasa, hadits No. 5066. Diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya, kitab an Nikah, bab: Dianjurkannya menikah bagi orang yang bergolak nafsunya, hadits No. 1400.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar